Minggu, 11 Juli 2010

AL-KINDI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat mana pun di dunia. Lahirnya filsafat didasarkan pada Al-Qur’an sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi, banyak kesalah fahaman dan anggapan bahwa filsafat Islam itu bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits. Padahal, yang dibicarakan di dalamnya adalah masalah-masalah yang belum ditemukan dan masih bisa dicari kebenarannya tentunya yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits.

Terkait dengan hal di atas maka perlu diungkapkan beberapa bentuk dari filsafat Islam yang juga terlahir dari khasanah pemikiran orang-orang Islam. Salah satu contoh filosof dari orang Islam adalah Al-Kindi yang akan dijelaskan di dalam bab pembahasan.

1.2 Perumusan Masalah

1. Siapakah Al-Kindi itu?

2. Bagaimana pemikiran Al-Kindi dalam Wilayah Filsafat?

3. Bagaimana pandangan Al-Kindi tentang Tuhan?

4. Bagaimana tinjauan kita terhadap Al-Kindi?

1.3 Tujuan Penulisan

Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan pada materi Filsafat Islam dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.

1.4 Metode Pembahasan

Dalam pembahasan ini, Penyusun menguraikan secara narasi, yaitu memaparkan berdasarkan plot atau alur.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hidup dan Karyanya

Ia adalah Abu Yusuf Ya’kub Ibnu Ishaq Ibnu Sabbah Ibnu Imran Ibnu Ismail Al Ash’ats Ibnu Qais Al-Kindi. Ia berasal dari suku Kindah Arab Samiyah, tepatnya di Yaman. Ayahnya seorang amir kota kufah pada pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid, dan nenek-neneknya adalah raja-raja di daerah Kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan), sedangkan nama Al Ahasash’ats Ibnu Qais yang ikut dicantumkan pada nama Al-Kindi adalah salah seorang sahabat Nabi SAW.

Al-Kindi lahir di kota Kufah (Irak) pada tahun 185 H/796 M, dan wafat tahun 252 H/873 M. Ia terkenal dengan sebutan “Filosof Arab”, selain itu ia juga dikenal sebagai seorang dokter, astronom, ahli kimia, dan juga ahli dalam ilmu pasti.

Setelah dewasaia pergi ke Bagdad dan mendapat lindungan dan kedudukan yang tinggi dari Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M). Karena ia berkecimpung dalam lapangan filsafat, maka ia mendapat tantangan yang sengit dari seorang ahli hadits yaitu Abu Jafar bin Muhammad Al-Balakhy.

Al-Kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syi’ah.

Ia telah mengarang lebih kurang 256 kitab. Diantaranya, ada 22 kitab yang berisi masalah-masalah filsafat, 16 kitab ilmu perbintangan, 11 kitab al-jabar dan ilmu hisab, 32 kitab ilmu ukur, 22 kitab ilmu kedokteran, 11 kitab ilmu pengetahuan alam, 7 kitab masalah-masalah music, 5 kitab ilmu jiwa (An Nafs), dan 9 kitab ilmu mantiq.

Karangan-karangannya yang terkenal diketemukan oleh seorang ahli ketimuran Jerman, yaitu Hillmuth Ritter, di perpustakaan Aya Sofia Istambul, dan terdiri dari 29 risalah. Risalah-risalah ini dibicarakan soal-soal alam dan filsafat, antara lain keesaan Tuhan, akal, jiwa, filsafat pertma. Risalah-risalah tersebut sudah diterbitkan di Mesir oleh M.Abdul-hadi Aburaidah.

Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah :

1. Aliran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.

2. Pikiran-pikiran Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristo tentang qodimnya alam.

3. Pikiran-pikiran Plato dalam soal kejiwaan.

4. Pikiran-pikiran Plato dan Aristo bersama-sama dalam soal etika.

5. Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

6. Aliran Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam mena’wilkan ayat-ayat Qur’an.

2.2 Al-Kindi dan Filsafat

Dalam risalahnya yang ditujukan kepada Al-Mu,tasim ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibnu Rusyd.

Al-Kindi meninjau filsafat dari dalam dan dari luar. Dengan tinjauan dari dalam, ia bermaksud mengikuti pendapat filosof-filosof besar tentang arti kata-kata “filsafat”, dan dalam risalahnya yang khusus mengenai definisi filsafat, ia menyebutkan enam definisi yang kebanyakannya bercorak Platonisme. Dengan tinjauan dari luar, ia bermaksud memberikan sendiri definisi filsafat.

Menurut Al-Kindi, filsafat ialah ilmu tentang hakekat (kebenaran) sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu Ketuhanan, ilmu Keesaan (wahdaniyyah), ilmu Keutamaan (fadlilah), ilmu tentang semua yang berguna dan cara memperolehnya, serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi tujuan seorang filosof bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran, dan bersifat amalan, yaitu mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat kepada kebanaran semakin dekat pula kepada kesempurnaan.

Dalam keterangan Al-Kindi tersebut terdapat unsure-unsur pikiran dari Plato dan Aristoteles. Unsur Aristoteles ialah pembagian filsafat kepada teori dan amalan. Unsur Plato ialah definisinya, karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan bahwa filosof ialah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada jalan dugaan (dhan).

Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras. Plato mengatakan bahwa inti filsafat ialah mencintai, mengatur, dan mengagungkan kekuatan akal dan hati. Apabila hal ini bisa dicapai oleh seseorang, maka ia akan dapat menerima pengetahuan dan dengan pengetahuan ini ia akan sanggup menjalankan tugasnya. Pengetahuan tersebut ialah ilmu hisab (aritmatika), handasah (geometri), falak (astronomi) dan jadal (ilmu berdebat).

Aliran Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Sesuai dengan itu, maka Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan (aqaqir thibbiyah).

Al-Kindi menekankan perlunya mempelajari buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan urut-urutan kegunaan dan tingkatannya. Juga ia mengatakan bahwa matematika diperlukan juga untuk mempelajari buku-buku tersebut di samping diperlukan untuk mempelajari filsafat.

Dengan demikian maka Al-Kindi, selain memperlihatkan corak Platonisme dan Pitagorisme, juga ia merupakan pengikut Aristo pertama di dunia Arab.

2.3 Pemaduan Filsafat dan Agama

Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetuk hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya, mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.

Al-Kindi adalah orang Islam yang pertama yang mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Menurutnya keduanya tidaklah bertentangan karena masing-masing marupakan ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaannya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para Rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridloi-Nya.

Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. Ia mulai membicarakan kebenaran. Menurutnya kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya, dari manapun datangnya, meskipun dari bangsa lain ataupun orang asing. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa mempersoalkan sumbernya, sekalipun sumber tersebut dari orang asing. Kemudian, usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Dalam usaha pemaduannya ini, Al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan Al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:

“Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al Hasyr: 2)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (Al-Baqarah: 164)

Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosof terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal serta antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut.

1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.

2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.

3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Al-Kindi juga mengemukakan perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut:

a. Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berpikir, belajar, dan usaha manusiawi. Sementara itu, agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa proses belajar, berpikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi para Rasul yang dipilih Allah dengan mensucikan jiwa mereka dan memberinya wahyu.

b. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agama (Al-Qur’an) jawabannya menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran atau perenungan.

c. Filsafat menggunakan metode logika sedangkan agama menggunakan metode keimanan.

Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Ia melapangkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusd yang dating kemudian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peran penting di pentas filsafat Islam.

2.4 Fisafat Ketuhanan

Pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sudah disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal ini bertentangan dengan pendapat-pendapat filosof Yunani sebelumnya. Al-Kindi berpendapat bahwa Tuhan itu ada (wujud) yang sebenar-benarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud yang lain. Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disabakan wujud-Nya. Ia Maha Esa dan tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan dilahirkan. Dan Tuhan yang Maha Esa itu adala Allah.

Menurut Al-Kindi benda-benda yang ada di alam ini mepunyai dua hakikat yaitu hakikat juz’iyyah atau aniyah (sebagian) dan hakikat kulliyah atau mahiyyah (keseluruhan).[5] Allah dalam filsafat AI-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Allah tidak tersusun dari mater dan bentuk. Akan tetapi, Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Ying Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya mengandung arti banyak.

Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Allah bagi Al-Kindi, adalah Pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda'. Pendapatnya ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai Penggerak Pertama yang tidak bergerak. Di sini terlihat Al-Kindi sekalipun terpengaruh oleh filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada di dalamnya, tetapi ia menyesuaikannya. dengan ajaran Islam. Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan tiga argumen:

1. Baharunya alam

2. Keanekaragaman dalam wujud

3. Kerapian alam.

Tentang dalil atau argumen baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi, Al-Kindi mengemukakannya secara filosofis. Ia berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai permulaan akan berkesudahan. Justru itu setiap benda, ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya. Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang menciptakannya, yakni Allah.

Tentang argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata Al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekara¬gaman tanpa keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi sebabnya akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Justru itu, sebabnya harus yang berada di luar alam sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia, dan lebih dahulu adanya dari alam, yang disebut dengan Allah SWT.

Dalam uraian di atas, Al-Kindi menyebut dua sebab: pertama, sebab yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan. Ia adalah Allah Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak sebenarnya. Sebab ini adanya lantaran, sebab lain dan sebab-sebab itu sendiri adalah sebab-sebab dari efek-efek lain. Sebab-sebab seperti ini jelas berkehendak dan membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. la bukanlah dinamakan sebab yang menciptakan alam ini.

Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini. Zat itulah yang disebut dengan Allah SWT.

2.5 Filsafat Jiwa

Kaum filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan Al-Qur’an dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang kurang baik sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.

Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia (pada surah Al-Isra’: 85) Justru itu, kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.

Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan inatahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani.

Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi ialah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.

Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa.

Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.

Al-Kindi juga menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya yaitu daya bernafsu yang terdapat di perut, daya marah yang terdapat di dada, dan daya pikir yang berpusat dikepala.

Al-Kindi dalam risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:

1. Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:

a. Ia adalah Akal Pertama

b. Ia selamanya dalam aktualitas

c. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir

d. Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya

2. Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.

3. Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dapat diambil kesimpulan :

Ø Al-Kindi adalah filosof yang pertama-tama menyelami persoalan filsafat dan keilmuan dengan menggunakan bahasa Arab.

Ø Dalam mengambil kesimpulan, Al-Kindi memperlihatkan corak Platonisme, Pitagorisme, dan Aristo, dengan memilih mana yang sesuai dengan pikirannya sendiri dan kepercayaan agamanya.

Ø Al-Kindi bersikap sebagai orang Islam Mu’tazilah, yang menganggap Tuhan sebagai Zat pengaturdan pemelihara alam, Yang berakal, dimana bekasnya Nampak dengan jelas pad alam.

Akan tetapi memang haruslah diakui, bahwa Al-Kindi tidak mempunyai sistim filsafat yang lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama-tama membuka pintu filsafat bagi dunia Arab dan diberinya corak Arab-ke-Islam-an. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah Al-Farabi.

3.2 Saran

Dengan adanya makalah ini Penyusun menyarankan agar kita (khususnya penyusun sendiri) hendaknya tidak memandang bahwa filsafat adalah suatu jalan yang mengantarkan kita kepada kekafiran. Justru dengan ilmu filsafat ini, kita akan lebih paham tentang segala sesuatu yang ada di sekitar kita, dan kita pun akan lebih yakin dengan agama kita,dengan keyakinan kita, dan dengan Tuhan kita (Allah SWT).

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi Ahmad, M.A.Pengantar Filsafat Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1982.

Dr. Yamani Khadim Ja’far. Sejarah Kedokteran Islam dari Masa ke Masa, terjemahan dr. Muhammad, dkk. dari Mukhtasar Tarikh Thariqat Ath Thib. Bandung : cv. Prakarsa Insan Mandiri, Januari 1993/Rajab 1413 H.

Prof. Dr Nasution Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.

Majid Nurcholis. Khasanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Nasution Harun. Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1996.

Poerwantana. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993

Zar Sirajudin. Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Selasa, 06 Juli 2010

Rekap Nilai Matematika

REKAP NILAI MATEMATIKA SEMESTER 2 KELAS 1D








NO NAMA NH NUL NUJ NA NT NR
1 Adnan Yuarsyah 42 15 20 27.8 23.7 60
2 Ahmad Muhafiz 47 20 36 37.2 23.7 60.9
3 Ahmad Rofi 41 20 13 25.6 23.7 60
4 Andri Abyan 77 79 71 75 23.7 98
5 Doni Darmawan 44 15 30 32.6 23.7 60
6 Fadel Muhammad 47 22 30 35.2 23.7 60
7 Fauzul Ramadhan 66 46 50 55.6 23.7 79.3
8 Firdaus Muttaqin 30 22 18 23.6 23.7 60
9 Giry Adam Firdaus 44 23 28 33.4 23.7 57.1
10 Haekal Fauzi 28 15 20 22.2 23.7 60
11 Ilham Feby K 70 33 39 50.2 23.7 73.9
12 Ilham Ramadhan 57 28 35 42.4 23.7 66.1
13 M. Imanudin Syafi'i 49 17 15 29 23.7 60
14 M. Hafidz Ridwan 30 15 18 22.2 23.7 60
15 M. Sahal Attaqi 25 25 25 25 23.7 60
16 M. Yasirul Fadli 84 69 80 79.4 23.7 98
17 Muharam Ulhaq 52 32 44 44.8 23.7 68.5
18 Sayid Syawal Habibi 44 26 34 36.4 23.7 60.1
19 Unggul Kantaqwa 26 32 15 22.8 23.7 60
20 Amanda Putri Pertiwi 64 23 33 43.4 23.7 67.1
21 Anita Putri 52 25 20 33.8 23.7 60
22 Ayu Rizka 52 15 30 35.8 23.7 60
23 Bianica Akfieni 53 24 25 36 23.7 60
24 Fityah Rahmah 76 32 35 50.8 23.7 74.5
25 Lintang Mutiara 65 24 26 41.2 23.7 64.9
26 Lulu Nurafwiani 90 67 85 83.4 23.7 98
27 Mutiara Dewi 33 24 35 32 23.7 60
28 Muzdhalifah Zulkarnaen 49 37 30 39 23.7 62.7
29 Nabila Afaffilah 49 13 21 30.6 23.7 60
30 Nael Muna 79 26 46 55.2 23.7 78.9
31 Novia Pratiwi 73 32 45 53.6 23.7 77.3
32 Raihana Fairuza 65 19 49 49.4 23.7 73.1
33 Sayyidati Assyifa 73 25 74 63.8 23.7 87.5
34 Ulfah Almannafi'ah 66 17 31 42.2 23.7 65.9
35 Ulfah Muflihah 50 19 35 37.8 23.7 61.5
36 Yasinta Eka Utami 72 38 31 48.8 23.7 72.5
37 Zahra Undzira 47 19 25 32.6 23.7 60