BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari metodologi pengajaran, perlu kiranya kita mengetahui apa dan bagaimana pendidikan Islam. Pendidikan merupakan suatu sistem dan proses yang melibatkan berbagai komponen. Komponen-komponen tersebut adalah komponen tujuan, pendidik, peserta didik, alat, lingkungan/lembaga, kurikulum, dan evaluasi. Yang di mana antara satu komponen dan komponen lain saling bekerja sama dalam mencapai tujuan. Maka dalam makalah ini Penyusun akan mencoba membahas tentang pendidikan dan beberpa komponennya, yaitu: Tujuan, pendidik, dan peserta didik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari pendidikan Islam?
2. Apa definisi dari tujuan?
3. Bagaiman tujuan pendidikan Islam?
4. Apa fungsi tujuan?
5. Bagaimana konsep pendidik dalam pendidikan Islam?
6. Bagaimana kedudukan pendidik dalam pendidikan Islam/
7. Apa tugas pendidik dalam pendidikan Islam?
8. Apa definisi dari peserta didik?
9. Apa saja yang dibutuhkan oleh peserta didik?
10. Bagaimana kode etik peserta didik?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan pada materi Metodologi Pengajaran PAI dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Islam
Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibani mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara prngajaran sebagai suatau aktivitas asasi dan profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979: 399)
Pengertian tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Selain itu, pengertian tersebut menekankan pada aspek-aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan dalam masyarakat dan alam semesta.
Dr. Muhammad SA Ibrahimy (Bangladesh) mengemukakan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:
Islamic education in true sense of term, is a system of education which enables a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with tenetn of Islam. (Arifin, 1991, 34)
Pendidikan dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam.
Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip islami yang diamanahkan oleh Allah kepada manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.
Dr. Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:
Upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan denga akal, persaan, maupun perbuatan. (Al-Jamali, 1986:3)
Definisi tersebut mempunyai tiga prinsip pendidikan Islam, yaitu sebagia berikut:
1. Pendidikan merupakan proses perbantuan pencapaian tingkat keimanan dan berilmu (QS. Al-Mujadilah (58): 11) yang disertai dengan amal shaleh (QS. Al-Mulk (67) :4).
2. Sebagai model, maka Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah (QS. Al-Ahzab (33): 21) yang dijamin Allah memiliki akhlak yang mulia (QS.Al-Qalam (68): 4)
3. Pada manusia terdapat potensi baik dan buruk (QS. Asy-Syams (91): 7-8), potensi negatif seperti lemah (QS. An-Nisa’ (4): 28), tergesa-gesa (QS. Al-Anbiya’ (21): 37), berkeluh kesah (QS. Al-Ma’arij (70): 19), dan ruh Allah tiupkan kepadanya pada saat penyempurnaan penciptaannya (QS. At-Tin (95):
4. Oleh karena itu, pendidikan ditujukan sebagai pembangkkit potensi baik yang ada pada anak didik dan mengurangi potensinya yang jelek. (Rahmat, 1991: 115)
Dalam seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 didapatkan pengertian pendidikan Islam, yaitu
Bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah, mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Pengertian ini mengandung arti bahwa dalam proses pendidikan Islam terdapat usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses, setingkat demi setingkat, menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berkepribadian dan berbudi luhur sesuai dengan ajaran Islam. (Arifin, 1987: 13-14)
Dari beberapa pengertian tersebut dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Pengertian tersebut mempunyai lima prinsip pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Proses transformasi dan internalisasi, yaitu upaya pendidikan Islam harus dilakukan secara bertahap, berjenjang, dan kontinu dengan upaya pemindahan, penanaman, pengarahan, pengajaran, pembimbingan, sesuatu yang dilakukan dengan menggunakan pola dan sistem tertentu.
b. Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan penghayatan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.
Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang bercirikan islami, yakni ilmu pengetahuan yanh memenuhi kriteria epistimologi islami yang tujuan akhirnya hanya untuk mengenal dan menyadari diri pribadi dan relasinya dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai ilahi dan nilai-nilai insani. Nilai ilahi mempunyai dua jalur; Pertama, nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah yang tertuang dalam Al-Asma Al-Husna sebanyak 99 nama yang indah. Nama-nama tersebut pada hakikatnya telah menyatu pada potensi dasar manusia yang selanjutnya disebut fitrah. Kedua, nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, baik berupa hukum yang linguistic-verbal (qurani) maupun yang verbal (kauni).
Sebaliknya, nilai insani merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa, dan karsa manusia yang tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia, yang memiliki sifat dinamis temporer.
c. Pada diri anak didik, yaitu pendidikan diberikan pada anak didik yang mempunyai potensi-potensi ruhani. Dengan potensi tersebut, anak didik dimungkinkan dapat dididik, sehingga pada akhirnya mereka dapat mendidik. Konsep ini berpijak pada konsepsi manusia sebagai makhluk psikis.
d. Melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, yaitu tugas pokok pendidikan Islam hanyalah menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi laten manusia agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakatnya. Dengan demikian, terciptalah dan terbentuklah daya kreativitas dan produktivitas anak didik.
e. Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, yaitu tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah terbentuknya “Insan Kamil” , yaitu manusia yangdapat menyelaraskan kebutuhan hidup jasmani-ruhani, struktur kehidupan dunia-akhirat, keseimbangan pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba-khalifah Allah dan keseimbangan pelaksanaan trilogy hubungan manusia. Akibatnya, proses pendidikan Islam yang dilakukan dapat menjadikan anak didik hidup penuh kesempurnaan, bahagia, dan sejahtera.
2.2 Tujuan Pendidikan Islam
A. Pengertian dan Fungsi Tujuan
Konsep tujuan pendidikan menurut Omar Muhammad At-Taumy Asy-Syaibani, adalah perubahan yang diinginkan melalui proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu, pada kehidupan pribadinya, pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar maupun pada proses pendidikan dan pengajaran itu sendiri sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara profesi dalam masyarakat. (Asy-Syaibani, 1979: 399). Berdasarkan konsep ini, pendidikan dipandang tidak berhasil atau tidak mencapai tujuan apabila tidak ada perubahan pada diri peserta didik setelah menyelesaikan suatu program pendidikan.
Tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usah atau kegiatan selesai. Pendidikan sebagai suatu usaha atau kegiatan yang berproses melalui beberapa tahap dan tingkatan-tingkatan yang mempunyai tujuan yang bertahap dan bertingkat pula. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, melainkan suatu keseluruhan dan kepribadian seseorang berkenaan dengan seluruh aspek kepribadiannya. (Daradjat, 92: 29)
Apabila dihubungkan dengan suatu usaha (proses) mak tujuan mempunyai beberapa fungsi. A. Daing Marimba (1986, 45-46) mengemukakan bahwa tujuan mempunyai beberapa fungsi, yaitu sebagai berikut:
1. Mengakhiri usaha, setiap usah mempunyai awal dan akhir. Pada Umumnya, suatu usaha baru berakhir setelah tujuannya tercapai. Apabila terhenti sebelum mencapai tujuan maka usah tersebut tidak dikatakan berakhir. Setidak-tidaknya dikatakan bahwa usaha tersebut berakhir dengan gagal.
2. Mengarahkan usaha, dengan adanya tujuan, suatu usaha mempunyai arah yang jelas. Tanpa tujuan yang jelas, seseorang tidak dapat mengarahkan usahanya dengan benar.
3. Merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, baik merupakan tujuan baru maupun tujuan-tujuan lanjutan.
4. Memberi nilai (sifat) pada suatu usaha. Ada usaha yang tujuannya lebih mulia daripada usaha-usaha lain, tentu saja berdasarakan sistem dan nilai-nilai tertentu.
Berdasarkan fungsi-fungsi tujuan di atas dapt dikatakan bahwa perumusan tujuan pendidikan Islam secara jelas merupakan hal yang sabgat penting. Tanpa perumusan tujuan yang jelas, sulit diketahui apakah suatu proses pendidikan sudah berakhir atau belum. Selain itu, tanpa kejelasan tujuan, sulit pula ditentukan arah program dan pelaksanaan pendidikan. Tidak kurang, daripada itu, tanpa perumusan tujuan yang jelas tidak dapat pula ditentukan nilai proses pendidikan, apakah baik atau kurang baik.
B. Prinsip-Prinsip Dalam Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, ada beberapa prinsip yang harus diperhatiakan. Menurut Asy-Syaibani (1979: 437-443), prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip universal (syumuliyyah). Prinsip yang memandang keseluruhan aspek agama (akidah, ibadah, dan akhlak serta muamalah), manusia (jasmani, ruhani, dan nafsani), masyarakat dan tatanan kehidupannnya, serta adanay wujud jagat raya dan hidup. Prinsip ini menimbulkan formulasi tujuan pendidikan dengan membuka, mengembangkan dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan kesediaan segala dayanya, serta meningkatkan keadaan kebudayaan, social, ekonomi, dan politik untuk menyelesaikan semua masalah dalam menghadapi tuntutan masa depan.
2. Prinsip keseimbangan dan kesederhanaan (tawazun wa iqtishadiyyah). Prinsip ini adalah keseimbangan antar berbagia aspek kehidupan pada pribadi, berbagai kebutuhan individu dan komunitas, serta tuntutan pemeliharaan kebudayaan silam dengan kebutuhan masa kini, seta berusaha mengatasi masalah-masalah yang sedang dan akan terjadi.
3. Prinsip kejelasan (tabayun). Prinsip yang di dalamnya terdapat ajaran dan hukum yang memberi kejelasan terhadap kejiwaan manusia (qalb, akal, dan hawa nafsu) dan hukum masalah yang dihadapi, sehingga terwujud tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan.
4. Prinsip tidak bertentangan. Prinsip yangdi dalamnya terdapat ketiadaan pertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya, sehingga antara satu komponen dengan komponen lain saling mendukung.
5. Prinsip realism dan dapat dilaksanakan. Prinsipp yang menyatakan tidak danya kekhayalan dalam kandungan program pendidikan, tidak berlebih-lebihan, serta adanya kaidah yang praktis dan realistis, yang sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik, dan sosiokultural yang ada.
6. Prinsip perubahan yang diinginkan. Prinsip perubahan struktur diri manusia yang meliputi jasmaniah, ruhaniah, dan nafsaniyah; serta perubahan kondisi psikologis, sosiologis, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan (QS. Ar-Ra’d (13): 11).
7. Prinsip menjaga perbedaan-perbadaan individu. Prinsip yang memerhatikan perbedaan peserta didik, baik cirri-ciri, kebutuhan, kecerdasan, kebolehan, minat, sikap, tahap pematangan jasmani, akal, emosi, sosial, dan segala aspeknya. Prinsip ini berpijak padda asumsi bahwa semua inidividu’tidak sama’ dengan yang lain.
8. Prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan, seta lingkungan di mana pendidikan itu dilaksanakan.
Prinsip-prinsip di atas harus diperhatiakan oleh perancang/perumus tujuan pendidikan Islam agar proses pendidikan Islam berhasil guna dan berday guna. Tanpa memperhatikan prinsip-prinsip dimaksud, proses pendidikan Islam tidak dapat terlaksana dengan baik, sekaligus tidak berhasil dengan maksimal.
C. Komponen-Komponen Tujuan Pendidikan
Suatu yang ingin diwujudkan di akhir proses pendididkan adalah kristalisasi berbagai nilai dalam pribadi peserta didik. Itulah yang disebut tujuan akhir. Tujuan akhir harus lengkap (comprehensive) yang mencakup semua aspek, serta terintegrasi dalam pola kepribadian ideal yang bulat dan utuh. Tujuan akhir mengandung nilai-nilai islami dalam segala aspeknya, yaitu aspek normative, aspek fungsional, dan aspek operasional. Hal tersebut menyebabkan pencapaian tujuan pendidikan tidak mudah, bahkan sangat kompleks dan mengandung risiko mental-spiritual, terlebih lagi menyangkut internalisasi nilai-nilai islami, yang di dalamnya terdapat iman, islam, dan ihsan, serta ilmu pengetahuan menjadi pilar-pilar utamanya.
Secara teoritis, tujuan akhir dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Tujuan normative. Tujuan yang ingin dicapai berdasarkan norma-norma yang mampu mengkristalisasikan nilai-nilai yang hendak diinternalisasi, misalnya:
a. Tujuan formatifyang bersifat memberi persiapan dasar yang korektif.
b. Tujuan selektif yang bersifat memberikan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan yang salah.
c. Tujuan determinative yang bersifat memberi kemampuan untuk mengarahkan diri pada sasaran-sasaran yang sejajar dengan proses kependidikan.
d. Tujuan integrative yang bersifat memberi kemampuan untuk memaduakn fungsi psikis (pikiran, perasaan, kemauan, ingatan, dan nafsu) kea rah tujuan akhir.
e. Tujuan aplikatif yang bersifat memberikan kemampuan penerapan segala pengetahuan yang telah diperoleh dalam pengalaman pendidikna.
2. Tujuan fungsional. Tujuan yang sasarannya diarahkan pada kemampuan peserta didik untuk memfungsikan daya kognisi, afeksi, dan psikomotorik dari hasil pendidikan yang diperoleh, sesuai dengan yang ditetapkan. Tujuan ini meliputi:
a. Tujuan individual, yang sasarannya pada pemberian kemampuan individual untuk mengamalkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan ke dalam pribadi berupa moral, intelektual, dan skill.
b. Tujuan sosial, yang sasarannya pada pemberian kemampuan pengamalan nilai-nilai ke dalam kehidupan sosial, interpersonal, dan interaksional dengan orang orang lain dalam masyarakat.
c. Tujuan moral, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan moral atas dorongan motivasi yang bersumber pada agama (teogenetis), dorongan sosial (sosiogenetis), dorongan psikologis (psiikogenetis), dan dorongan biologis (biogenetis).
d. Tujuan profesional, yang sasarannya pada pemberian kemampuan untuk mengamalkan keahliannya, sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
3. Tujuan operasional. Tujuan yang mempunyai sasaran teknis manajerial. Menurut Langeveld, tujuan ini dibagi menjadi enam macam, yaitu sebagai berikut:
a. Tujuan umum (tujuan total). Menurut Kohnstam dan Guning, tujuan ini mengupayakan bentuk manusia kamil, yaitu manusia yang dapat menunjukkan keselarasan dan keharmonisan antara jasmani dan ruhani, baik dalam segi kejiwaan, kehidupan individu, maupun untuk kehidupan bersama yang menjadiakn integritas ketiga inti hakikat manusia.
b. Tujuan khusus. Tujuan ini sebagai indikasi tercapainya tujuan umum, yaitu pendidikan yyang disesuaikan dengan keadaan tertentu, baik berkaitan dengan cita-cita pembangunan suatu bangsa, tugas dan suatu badan, atau lembaga pendidikan bakat dan kemampuan peserta didik seperti memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk bekal hidupnya setelah ia tamat, dan sekaligus merupakan dasar persiapan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
c. Tujuan tidak lengkap. Tujuan ini berkaitan dengan kepribadian manusia dan hanya pada suatu aspek yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, misalnya kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan, pengetahuan, dan sebgainya. Setiap aspek ini mendapat giliran penanganan (prioritas).
d. Tujuan incidental (tujuan seketika). Tujuan ini timbul karena kebetulan, bersifat mendadak, dan bersifat sesaat, misalnya mengadakan shalat jenazah ketika ada orang yang meninggal.
e. Tujuan sementara. Tujuan yang ingin dicapai pada fase-fase tertentu dan tujuan umum, seperti fase anak yang tujuan belajarnya adalah membaca dan menulis, fase manula yang tujuan belajarnya adalah membekali diri untuk menghadap ilahi, dan sebagainya.
f. Tujuan intermedier. Tujuan yang berkaitan dengan penguasaan suatu pengetahuan dan keterampilan demi tercapainya tujuan sementara, misalnya anak belajar membaca dan menulis, berhitung, dan sebagainya (Arifin: 127-128).
Aspek-aspek tujuan pendidikan di atas tidak hanya terfokus pada tujuan yang bersifat teoritis, tetapi juga bertujuan praktis yang sasarannya pada pemberian kemampuan praktis peserta didik. Hal ini dilakukan agar setelah menyelesaiakan studinya, mereka dapat mengaplikasikan ilmunya dengan penuh kewibawaan dan profesional, mengingat kompetensi yang dimiliki telah memadai.
D. Formulasi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk mencapai tujuan pendidikan harus dilaksanakan upaya semaksimal mungkin, walaupun pada kenyataannya manusia tidak mungkin menemukan kesempurnaan dalam berbagai hal.
Menurut Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman (1986: 24), tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalm dua segi, yaitu insane purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan insane purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan dunia akhirat dalam pandangan Al-Ghazali adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.
Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi (tt.: 30), tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang telah ditetapkan dan dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sewaktu hidupnya, yaitu terbentuknya moral yang tinggi, karena pendidikan moral merupakan jiwa pendidikan Islam, sekalipun tanpa mengabaikan pendidikan jasmani, akal, dan ilmu praktis.
Ibnu Khaldun, yang dikutip oleh Muhammad Athiyah Al-Abrasyi (1969: 284), merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan berpijak pada firman Allah SWT sebagai berikut:
Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupa bagian dari (kenikmatan) duniawi.(QS.Al-Qashash (28): 77)
Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Khaldun merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi atas dua macam, yaitu tujuan yang berorientasi ukhrawi, yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah, dan tujuan yang berorientasi duniawi, yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kebutuhan dan tantangan kehidupan, agar hidupnya lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.
Abd.Ar-Rasyid bin Abd. Al-Aziz dalam bukunya, At-Tarbiyah Al-Islamiyah wa Thuruq Tadrisiha (1975: 231-232), menukil pendapat para ahli, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ihwan Shafa, tentang rumusan tujuan pendidikan Islam yang pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adlah (1) adanya kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT melalui pendidikan akhlak, dan (2) menciptakan individu untuk memiliki pola piker yang ilmiah dan pribadi yang paripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal shaleh, guan memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan.
Dari beberapa rumusan tujuan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi.
2.3 Pendidik Dalam Pendidikan Islam
A. Konsep Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani dan ruhaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah SWT dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidik terbagi dua, yaitu pendidik kodrat dan pendidik jabatan. Keduanya akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
1. Pendidik Kodrat
Orang dewasa yang mempunyai tanggung jawab utama terhadap anak adalah orangtuanya. Orangtua disebut pendidik kodrat karena mereka mempunyai hubungan darah dengan anak. Namun, karena orangtua kurang memiliki kemampuan, waktu, dan sebagainya untuk memberikan pendidikan yang diperlukan anaknya, maka mereka menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada orang dewasa lain untuk membimbingnya seperti guru di sekolah, guru agama di masjid, dan tokoh-tokoh masyarakat.
Berdasarkan hal di atas, orangtua menjadi pendidik yang pertama dan terutama bagi anak-anaknya. Ia harus menerima. Mencintai, mendorong, dan membantu anak aktif dalam kehidupan bersama (kekerabatan) agar anak memiliki nilai hidup, jasmani, nilai keindahan, nilai kebenaran, nilai moral, nilai keagamaan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai tersebut sebagai perwujudan dan peran mereka sebagai pendidik.
Orangtua sebagai pendidik kodrat menerima amanah dan tugas mendidik langsung dari Allah Maha Pendidik. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT dalam Surah At-Tahrim (66) ayat 6:
Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Maraghi mengemukakan bahwa memelihara dan menyelamatkan keluarga dari siksaan neraka dapat dilakukan dengan cara menasihati, mengajar, dan mendidik mereka. Dengan cara demikian, mudah-mudahan mereka menaati Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. (Al-Maraghi, X, tt.: 162).
Berdasarkan penafsiran ayat di atas dapat dikatakan bahwa setiap orangtua mukmin otomatis menjadi pendidik. Tanpa mengikuti pendidikan profesi pendidik, tanpa memiliki ijazah tertentu, dan tanpa menerima honor dari siapa pun, ia harus melaksanakan tugas mendidik dengan baik. Ia harus mempertanggungjawabkan tugas tersebut kepada Allah SWT. Sehubungan dengan itu, orangtua yang beriman harus melakukan berbagai aktivitas dan upaya agar anggota keluarganya selalu menaati Allah dan Rasul-Nya. Apabila orangtua tidak mendidik anaknya atau melaksanakan pendidikan anak dengan tidak sungguh-sungguh, maka akibatnya anak tidak akan berkembang sesuai dengan harapan. Bahkan, potensi anak yang paling asasi (fitrah diniyah) dapat bergeser. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya. (Al-Bukhari, I, tt.: 532):
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan menurut fitrah (potensi beragama Islam). Selanjutnya, kedua orangtuanyalah yang membelokkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi bagaikan binatang melahirkan binatang, apakah kamu melihat kekurangan padanya?” (HR. Al-Bukhari)
2. Pendidik Jabatan
Pendidik di sekolah. Seperti guru, konselor, dan administrator disebut pendidik karena jabatan. Sebutan ini disebabkan mereka ditugaskan untuk memberikan pendidikan dan pengajaran di sekolah, yaitu mentransformasikan kebudayaan secara teroganisasi demi perkembangan peserta didik (siswa), khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidik jabatan adalah orang lain (tidak termasuk anggota keluarga) yang karena keahliannya ditugaskan mendidik guna melanjutkan pendidikan yang telah dilaksanakan oleh orangtua dalam keluarga. Pada hakikatnya, pendidik jabatan membantu orangtua dalam mendidik anak karena orangtua memiliki berbagai keterbatasan. Berbeda dari pendidik kodrat, pendidik jabatan dituntut memiliki berbagai kompetensi sesuai dengan tugasnya.
B. Kedudukan Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Pendidik adalah bapak ruhani (spiritual father) bagi peserta didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilaku yang buruk. Oleh karena itu, pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam. Dalam beberapa hadis disebutkan: “Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, ddan janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga kamu menjadi rusak”. Dalam hadis Nabi SAW yang lain: “Tinta seorang ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para syuhada”. Bahkan Islam menempatkan pendidik setingkat dengan derajat seorang rasul. Asy-Syawki bersyair: “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah penghargaan, seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul”.
Al-Ghazali menukil beberapa hadis Nabi SAW tentang keutamaan seorang pendidik. Ia berkesimpulan bahwa pendidik disebut sebagai orang-orang besar (great individual) yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun (QS. At-Taubah (9): 122). Selanjutnya, Al-Ghazali menukil dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa pendidik merupakan pelita (siraj) segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya (nur) keilmiahannya. Andaikata dunia tidak ada pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab mendidik adalah upaya mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan kepada sifat insaniyyah dan ilahiyyah.
C. Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membimbing hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal tersebut karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan diri dalam peribadatan kepada peserta didik, berarti mengalami kegagalan di dalam tugasnya, sekalipun peserta didik memiliki prestasi akademis yang luar biasa. Hal tersebut mengandung arti akan keterkaitan antara ilmu dan amal shaleh.
Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu” dan “ ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didik. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekadar transformasi ilmu, tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya kepada peserta didik. Pad tataran ini terjadi sinkronisasi antara apa yang diucapkan oleh guru (didengar oleh peserta didik) dan yang dilakukannya (dilihat oleh peserta didik).
Dalam perkembangan berikutnya, paradigma pendidik tidak hanya bertugas sebagai pengajar, yang mendoktrin peserta didik untuk menguasai seperangkat pengetahuan dan skill tertentu. Pendidik hanya bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar. Keaktifan sangat tergantung pada peserta didik itu sendiri, sekalipun keaktifan merupakan akibat dari motivasi dan pemberian fasilitas dari pendidiknya. Seorang pendidik dituntut mampu memainkan peranan dan fungsinya dalam menjalankan tugas keguruan. Hal ini menghindari adanya benturan fungsi dan peranan, sehingga masyarakat, warga Negara, dan pendidik itu sendiri. Antara tugas keguruan dan tugas lainnya harus ditempatkan menurut proporsinya.
Terkadang seseorang terjebak dengan sebutan pendidik, misalnya ada sebagian orang yang mampu memberikan dan memindahkan dan ilmu pengetahuan (transfer the knowledge) kepada orang lain sudah dikatakan sebagai pendidik. Sesungguhnya seorang pendidik bukan hanya menjalankan tugas tersebut, tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan (manager of learning), pengarah (director of learning), fasilitator, dan perencanaan (the planner of future society). Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta melaksanakan penilaian setelah program dilakukan.
2. Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.
3. Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin, mengendaliakan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan (Rostiyah NK, 1982:86)
Dalam tugas tersebut, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan dapat berupa:
1) Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memperhatiakan kesediaan, kemampuan, pertumbuhan, dan perbedaan peserta didik;
2) Membangkitkan gairah peserta didik;
3) Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik;
4) Mengatur proses belajar mengajar yang baik;
5) Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses mengajar;
6) Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar. (Daradjat, 1980: 22-23)
Muhaimin secara utuh mengemukakan karakteristik tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam. Dalam runusannya, Muhaimin menggunakan istilah-istilah ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris, dan mu’addib. (Muhaimin, 2005:50). Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.
2. Mu’allim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah)
3. Murabbi adaalh orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam sekitarnya.
4. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didik.
5. Mudarris adaalh orang yanh memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didik, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
6. Mu’addib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualiatas di masa depan.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa tugas-tugas pendidik amat sangat berat, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan afektif dan psikomotorik. Profesionalisme pendidik sangat ditentukan oleh seberapa banyak tugas yang telah dilakukannya, sekalipun terkadang profesionalismenya itu tidak berimplikasi yang signifikan terhadap penghargaan yang diperolehnya.
2.4 Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
A. Pengertian Peserta Didik
Dalam bahasa Indonesia, makna siswa, murid, pelajar dan peserta didik merupakan sinonim (persamaan), semuanya bermakna anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari sutu lembaga pendidikan. Peserta didik adalah subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat.
Dalam pengertian umum, anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.sedangkan dalam arti sempit anak didik adalah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik (Yusrina, 2006).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana yang dikutip oleh Murip Yahya (2008 : 113), dijelaskan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah “anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah individu manusia yang secara sadar berkeinginan untuk mengembangkan potensi dirinya (jasmani dan ruhani) melalui proses kegiatan belajar mengajar yang tersedia pada jenjang atau tingkat dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik dalam kegiatan pendidikan merupakan obyek utama (central object), yang kepadanya lah segala yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan dirujukkan.
B. Kode Etik Peserta Didik
Kode etik, yang merupakan terjemahan dari ethical code, adalah norma-norma yang mengatur tingkah laku seseorang yang berada dalam lingkungan kehidupan tertentu. Ia berisi rumusan baik-buruk, boleh-tidak boleh, terpuji-tidak terpuji, yang harus dipedomani oleh seseorang dalam suatu lingkungan tertentu.
Kode etik juga berasal dari kata kode dan etik. Kode berarti simbol atau tanda; sedangkan etik berasal dari bahasa latin ethica dan bahasa Yunani ethos. Dalam kedua bahasa tersebut, etik berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia.
Kode etik peserta didik adalah aturan-aturan, norma-norma yang dikenakan kepada peserta didik, berisi sesuatu yang menyatakan boleh-tidak boleh, benar-tidak benar, layak-tidak layak, dengan maksud agar ditaati oleh peserta didik. Aturan-aturan tersebut, bisa berupa yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk di dalamnya adalah tradisi-tradisi yang lazim ditaati di dunia pendidikan, khususnya pendidikan.
Adapun tujuan kode etik peserta didik adalah:
a. Agar terdapat suatu standar tingkah laku tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi peserta didik di sekolah tertentu. Standar demikian sangat penting, mengingat peserta didik berasal dari aneka ragam kultur yang membawa aspek-aspek yang ada pada kultur mereka masing-masing.
b. Agar terdapat kesamaan bahasa dan gerak langkah antara sekolah dengan orang tua peserta didik serta masyarakat, dalam hal menangani peserta didik. Kesamaan arah ini sangat penting, agar upaya-upaya yang mengarah pada perkembangan peserta didik menuju arah yang sama, dan bukan saling bertolak belakang.
c. Agar dapat menjunjung tinggi citra peserta didik di mata masyarakat. Adanya ucapan, tingkah laku dan perbuatan yang pantas, sangat menjunjung tinggi citra dan wibawa peserta didik dan bahkan lembaga pendidikan secara keseluruhan. Jangan sampai terjadi, hanya karena tingkah laku dan perbuatan beberapa gelintir oknum peserta didik, dapat mencemarkan korps peserta didik secara keseluruhan, termasuk lembaganya.
d. Agar tercipta suatu aturan yang dapat ditaati bersama, khususnya peserta didik, dan demikian juga oleh personalia sekolah yang lain. Pentaatan demikian sangat penting, demi menjaga harkat dan martabat kemanusiaan peserta didik secara keseluruhan.
Adapun isi yang terkandung di dalam kode etik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pertimbangan dan atau rasionalitas mengapa kode etik tersebut ditetapkan dan harus ditaati.
b. Standar tingkah laku peserta didik yang layak ditampilkan, baik ketika berada di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun masyarakat.
c. Kapan peserta didik harus sudah berada di sekolah, dan kapan juga peserta didik harus sudah berada di rumah kembali.
d. Pakaian yang bagaimanakah yang layak dipakai oleh peserta didik terutama di lingkungan sekolah.
e. Apa saja yang wajib dilakukan oleh peserta didik berkaitan dengan lembaga pendidikan atau sekolahnya.
f. Bagaimanakah hubungan antara peserta didik dengan guru, kepala sekolah, personalia yang lain, dengan teman sebaya (senior dan juniornya), orang tua, masyarakat pada umum bahkan tamu yang sedang berkunjung ke sekolah.
g. Apa yang dilakukan oleh peserta didik ketika ada di antara temannya ada yang merasa kesusahan
C. Kebutuhan Peserta Didik
Suatu hal yang juga sangat perlu diperhatikan oleh seorang pendidik dalam mengajar, membimbing, dan melatih muridnya adalah “kebutuhan murid”.
Al-Qussy membagi kebutuhan manusia (peserta didik) dalam dua kebutuhan pokok, yaitu:
1) Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya;
2) Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan ruhaniah.
Selanjutnya ia membagi kebutuhan ruhaniah kepada enam macam, yaitu;
1) Kebutuhan akan rasa kasih saying,
2) Kebutuhan akan rasa aman,
3) Kebutuhan akan rasa harga diri,
4) Kebutuhan akan rasa bebas,
5) Kebutuhan akan rasa sukses,
6) Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia yang berakal. (Abdul Aziz Al-Qussy, 1974: 177)
Selanjutnya Law Head membagi kebutuhan manusia sebagai berikut:
1) Kebutuhan jasmani, seperti makan, minum, bernapas, perlindungan, seksual, kesehatan, dan lain-lain.
2) Kebutuhan ruhani, seperti kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lenih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasi dirinya sendiri, dan lain-lain.
3) Kebutuhan yang menyangkut jasmani-ruhani seperti istirahat, rekreasi, butuh supaya setiap potensi fisisk dapat dikembangkan semaksimal mungkin, butuh agar setiap usaha/pekerjaan sukses, dan lain-lain.
4) Kebutuhan sosial, seperti dapat diterima oleh teman-temannya secara wajar, supaya dapat diterima oleh orang yang lebih tinggi dari dirinya seperti orangtua, guru-guru, dan pemimpinnya seperti kebutuhan untuk memperoleh prestasi dan posisi.
5) Kebutuhan yang lebih tinggi sifatnya (biasanya dirasakan lebih akhir) merupakan tuntutan ruhani yang mendalam, yaitu kebutuhan untuk meningkatkan diri yaitu kebutuhan terhadap agaam. (Jalaluddin, 1993: 63)
Kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan yang paling esensial adalah kebutuhan terhadap agama. Agama dibutuhkan karena manusia memerlukan orientasi dan objek pengabdian dalam hidupnya. Oleh karena itu, parra ahli menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang beragama (homo religius).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan:
v Pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fittrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.
v Tujuan ialah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
v Tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi.
v Fungsi tujuan ada empat, yaitu mengakhiri usaha, mengarahkan usaha, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain, memberi nilai (sifat) pada suatu usaha.
v Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).
v Pendidik terbagi dua, yaitu pendidik kodrat dan pendidik jabatan.
v Pendidik mempunyai kedudukan tinggi dalam Islam.
v Tugas pendidik yaitu sebagai pengajar (intruksional), pendidik (educator), dan pemimpin (managerial).
v Peserta didik adalah individu manusia yang secara sadar berkeinginan untuk mengembangkan potensi dirinya (jasmani dan ruhani) melalui proses kegiatan belajar mengajar yang tersedia pada jenjang atau tingkat dan jenis pendidikan tertentu.
v Peserta didik dalam kegiatan pendidikan merupakan obyek utama (central object), yang kepadanya lah segala yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan dirujukkan.
v Kebutuhan peserta didik yang paling esensial adalah kebutuhan agama.
v Kode etik peserta didik adalah aturan-aturan, norma-norma yang dikenakan kepada peserta didik, berisi sesuatu yang menyatakan boleh-tidak boleh, benar-tidak benar, layak-tidak layak, dengan maksud agar ditaati oleh peserta didik.
3.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu:
v Agar para pembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat dan mengerti isi serta ruang lingkupnya sehingga dapat diambil pelajaran dan diterapkan dalam proses pendidikan.
v Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.
DAFTAR PUSTAKA
Umar, Bukhari. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah,2010
Yusrina. Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Pembentukan Akhlak Siswa di SMP YPI Cempaka Putih Bintaro (Online), Jakarta: http://idb4.wikispaces.com, 2009
Yahya, Murip. Pengantar Pendidikan, Bandung: Prospect
Subliyanto. Kode Etik Peserta Didik, http://subliyanto.blogspot.com/2011/02/kode-etik-peserta-didik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar