BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Hal ini karena di samping peranannya yang amat strategis dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia, juga karena di dalam pendidikan Islam terdapat berbagai masalah yang kompleks dan memerlukan penanganan segera. Bagi mereka yang akan terjun ke dalam dunia pendidikan Islam harus memiliki wawasan yang cukup tentang pendidikan Islam dan memiliki kemampuan untuk mengembangkannya sesuai dengan tuntutan zaman.
Terkait dengan hal di atas, maka sekiranyalah kita memahami apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam serta berbagai masalah yang berhubungan dengannya, dan mengetahui berbagai model yang dilakukan dalam penelitian kependidikan Islam sebagai bahan perbandingan untuk melakukan konsep-konsep pendidikan Islam sesuai tuntutan zaman.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari model penelitian pendidikan Islam?
2. Aspek-aspek apa saja yang tercakup dalam pendidikan Islam?
3. Bagaimana model penelitian pendidikan Islam?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
Penugasan ini dilakukan semata-mata demi untuk mempelajari dan menambah wawasan pada materi Metode Penelitian Pendidikan dan juga merupakan salah satu tugas mata kuliah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Model Penelitian Pendidikan Islam
A. Pengertian Model Penelitian
Model adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasai. Bentuknya dapat berupa model fisik (market, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis.
Sedangkan penelitian adalah suatu penyelidikan atau suatu usaha pengujian yang dilakukan secara teliti, dan kritis dalam mencari fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan menggunakan langkah-langkah tertentu. Dalam mencari fakta-fakta ini diperlukan usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah.
Dari definisi model dan penelitian di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan model penelitian adalah rencana, representasi, dan deskripsi atas suatu usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap suatu masalah.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Setelah kita membahas tentang model penelitian, selanjutnya kita akan membahas tentang pendidikan Islam. Tetapi terlebih dahulu kita akan membahas tentang pendidikan. Banyak para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan secara berbeda-beda tetapi pada intinya sama.
Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Definisi ini selanjutnya dinilai oleh Ahmad Tafsir sebagai definisi yang belum mencakup semua yang kita kenal sebagai pendidikan. Definisi itu cukup memadai bila kita membatasi pendidikan hanya pada pengaruh seseorang kepada orang lain, dengan sengaja (sadar). Pendidikan oleh diri sendiri dan oleh lingkungan, Nampak belum tercakup ke dalam batasan pendidikan yang diberikan oleh Ahmad D. Marimba tersebut. Namun demikian, Ahmad Tafsir lebih lanjut mengatakan bahwa pengertian mana yang akan Anda ambil, boleh saja, terserah kepada Anda.[1]
Selain itu, dijumpai pula formulasi pendidikan yang diajukan tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Menurutnya pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia.
Pengertian pendidikan dengan agak lebih terperinci lagi cakupannya dikemukakan oleh Soegarda Poerbakacawa. Menurutnya, dalam arti umum pendidikan mencakup segala usaha dan perbutan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda untuk melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya.
Secara formal, pendidikan adalah pengajaran (at-tarbiyah, at-ta’lim). Sebagaimana Muhaimin (2001:37) katakana bahwa pendidikan adalah aktivitas atau upaya yang sadar dan terencana, dirancang untuk membantu seseorang mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial.[2]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. menyimpulkan bahwa pendidikan adalah merupakan usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Dengan demikian, pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan demikian akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.[3]
Dari definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendidikan adalah proses perubahan dan pengembangan potensi serta kualitas seseorang baik melalui dirinya, lingkungan, atau pun orang lain demi mencapai kehidupan yang sempurna dengan menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Setelah membahas Pendidikan selanjutnya kita akan memaparkan tentang pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang diformulasikan oleh para ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a. Menurut al-Syaibaniy mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.
b. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan bisa membentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
c. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil)
d. Ahmad Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari batasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang diyakininya.
C. Pengertian Model Penelitian Pendidikan Islam
Dari beberapa pengertian di atas tentang pengertian model penelitian dan pendidikan Islam, maka bisa kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan model penelitian pendidikan Islam adalah bentuk-bentuk usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah pendidikan Islam yang berkisar pada peserta didik, pendidik, lingkungan, dan komponen-komponen lainnya.
2.2 Aspek-Aspek Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagaimana pendidikan lainnya memiliki berbagai aspek yang tercakup di dalamnya. Aspek tersebut dapat dilihat dari segi cakupan materi didikannya, filsafatnya, sejarahnya, kelembagaannya, sistemnya, dan dari segi kedudukannya sebagai sebuah ilmu. Dari aspek materi didikannya, pendidikan Islam sekurang-kurangnya mencakup pendidikan fisik, akal, agama (akidah dan syari’ah), akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan.[4] Berbagai aspek materi yang tercakup dalam pendidikan Islam tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta pendapat para ulama. Pendapat lain mengatakan bahwa materi pendidikan Islam itu pada prinsipnya ada dua, yaitu materi didikan yang berkenaan dengan masalah keduniaan dan materi didikan yang berkenaan dengan masalah keakhiratan. Hal ini didasarkan pada kandungan ajaran Islam yang mengajarkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[5]
Dilihat dari segi sejarah atau periodenya, pendidikan Islam mencakup:
1) Peride pembinaan Islam yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad SAW. Masa ini berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai rasul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam. Masa tersebut berlangsung selama lebih kurang 23 tahun, yaitu Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali, yaitu tanggal 17 bulan Ramadhan di tahun sebelum hijrah, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M, sampai dengan wafatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 11 hijrah, bertepatan dengan 8 Juni 832 M.
2) Periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad wafat sampai masa akhir Bani Umayyah yang diwarnai oleh berkembangnya ilmu-ilmu naqliyah. Pada masa pertumbuhan dan perkembangannya itu, pendidikan Islam mempunyai dua sasaran. Pertama, yaitu generasi muda sebagai generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam; dan kedua, adalah penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami.
3) Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam, yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya Bagdad, yang diwarnai oleh berkembangnya ilmu akliah dan timbulnya madrasah, serta memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam;
4) Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Bagdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon, yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat;
5) Periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini, yang ditandai oleh gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam.[6]
Selanjutnya, dilihat dari segi kelembagaannya pendidikan Islam mengenal adanya pendidikan yang dilaksanakan di rumah, mesjid, pesantren, dan madrasah dengan berbagai macam corak dan pendekatannya,[7] lembaga-lembaga pendidikan Islam ini dapat dibagi lagi menurut periodesasinya, yaitu lembaga pendidikan Islam zaman Rasulullah SAW, lembaga pendidikan di zaman Khulafaur Rasyidin, lembaga pendidikan di zaman Umayyah, dan lembaga pendidikan di zaman Abbasiyah dan Andalusia.[8]
Selanjutnya, pendidikan Islam sebagai sebuah sistem adalah suatu kegiatan yang di dalamnya mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru (pelaksana pendidikan), metode, pendekatan, sarana prasarana, lingkungan, administrasi, dan sebagainya yang antara satu dan lainnya saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang terpadu.[9]Apabila salah satu aspek pendidikan tersebut berubah, bagian aspek lainnya juga berubah. Misalnya, jika tujuan pendidikan berubah, bagian aspek lainnya juga berubah. Misalnya, jika tujuan pendidikan berubah, kurikulum, guru, metode, pendekatan dan lainnya akan berubah. Dari berbagai aspek pendidikan demikian selanjutnya telah membentuk berbagai disiplin ilmu pendidikan Islam, yaitu ilmu yang membahas berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai adanya ilmu yang khusus membahas tujuan pendidikan yang dipadukan dengan fillsafat pendidikan Islam; ilmu yang membahas tentang kurikulum, ilmu yang membahas tentang guru, lingkungan pendidikan, administrasi pendidikan dan sebagainya. Dari keadaan demiikian itulah selanjutnya dibuka Fakultas Tarbiyah pada seluruh Institut Agama Islam Negri (IAIN) yang tersebar di seluruh Indonesia.
2.3 Model Penelitian Ilmu Pendidikan Islam
Dilihat dari segi objek kajiannya, ilmu pendidikan dapat dibagi kepada tiga bagian. Pertama, ada pengetahuan ilmu, yaitu pengetahuan tentang hal-hal atau objek-objek yang empiris, diperoleh dengan melakukan penelitian ilmiah, dan teori-teorinya bersifat logis dan empiris. Pengujian teorinya pun diukur secara logis dan empiris. Bila logis dan empiris, teori ilmu itu benar, dan inilah yang selanjutnya disebut science.
Kedua, pengetahuan filsafat, yaitu pengetahuan tentang objek-objek yang abstrak logis, diperoleh dengan berpikir, dan teori-teorinya bersifat logis dan hanya logis (tidak empiris). Kebenaran atau kesalahan teori filsafat hanya diukur dengan logika; bila logis dinilai benar; bila tidak maka salah. Bila logis dan ada bukti empiris, teori itu bukan filsafat, melainkan teori ilmu (sains).
Ketiga, Pengetahuan mistik, yaitu pengetahuan yang objek-objeknya tidak bersifat empiris, dan tidak pula terjangkau oleh logika. Objek pengetahuan ini bersifat abstrak, supra logis. Objek ini dapat diketahui melalui berbagai cara, misalnya dengan merasakan pengetahuan batin, dengan latihan atau cara lain. Pengetahuan kita tentang yang gaib, diperoleh dengan cara ini.
Ketiga macam pengetahuan tentang pendidikan Islam tersebut dapat digambarkan dalam matrik sebagai berikut.
Pengetahuan | :Objek | :Metode | :Ukuran |
Sains (ilmu) | :Empiris | :Ilmiah | :Logis-empiris |
Filsafat | :Abstrak-logis | :Logika | :Logis |
Mistik | :Abstrak-Supra logis | :Supra rasional | :Yakin, kadang- kadang empiris |
Berdasarkan matrik tersebut, maka pengetahuan (ilmu) pendidikan Islam terdiri dari pengetahuan pengetahuan filsafat pendidikan, tasawuf (mistik) pendidikan dan ilmu pendidikan. Filsafat dan tasawuf terkadang disebut ilmu, padahal secara akademis keduanya itu bukan ilmu tetapi pengetahuan karena yang disebut ilmu harus bersifat empiris dan memiliki cirri-ciri ilmiah. Dengan demikian jika disebutkan Ilmu Pendidikan Islam, cakupannya ialah masalah-masalah yang berada dalam dataran ilmu(sains), yaitu objek-objek yang logis dan empiris tentang pendidikan.[10]
Dengan demikian, maka peta penelitian Ilmu Pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat pendidikan Islam, pengetahuan mistik pendidikan Islam, dan ilmu pendidikan Islam. Penelitian dalam kajian yang berdasarkan logika (filsafat) dan keyakinan (mistik) telah banyak dilakukan para ulama Islam. Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani misalnya mengkhususkan diri pada kajian bidang filsafat pendidikan Islam, melalui karya tulisnya berjudul Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah yang diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1979. Demikian pula Ahmad D. Marimba menulis buku berjudul Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, yang diterbitkan Al-Ma’arif, Bandung, tahun 1980, pada cetakan keempatnya.[11]
Sementara itu, kajian terhadap pengetahuan tasawuf (mistik) mengenai pendidikan antara lain dilakukan oleh Al-Ghazali yang terintegrasi dalam bukunya Ihya ‘Ulum al-Din. Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan telah diteliti oleh Fathiyah Hasan Fahmi dalam bukunya berjudul Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Fathur Rahman May dan Syamsuddin Asyrafi dari judul al-Madzhabut Tarbawi ‘ind al-Ghazali, diterbitkan oleh Ma’arif, Bandung tahun 1986.
Adapun kajian atau tepatnya penelitian terhadap Ilmu Pendidikan Islam yang bersifat empiris dinilai masih belum banyak dilakukan para pakar Islam. Sedangkan kajian atau penelitian yang berkenaan dengan ilmu yang terakhir inilah yang menjadi modal bagi pengembangan ilmu pendidikan Islam.
Dari penelitian Ilmu Pendidikan Islam (sains yang empiris) itu akan muncul teori yang selanjutnya disesuaikan dengan ajaran ajaran Islam. Teori-teori itulah yang kelak disebut teori Ilmu Pendidikan Islam. Dengan demikian, pengembangan Ilmu Pendidikan Islam tidaklah mencakup pekerjaan mengembangkan filsafat pendidikan Islam dan tidak pula mengembangkan manual-manual pendidikan Islam.
Teori-teori yang perlu dikembangkan dalam Ilmu Pendidikan Islam, menurut Ahmad Tafsir, ternyata luas sekali. Keluasan itu disebabkan karena kegiatan pendidikan Islam memang luas sekali. Pendidikan Islam itu dimulai dari sejak anak didik dapat dibayangkan adanya, kemudian ia berada dalam kandungan, dalam masa bayi, kanak-kanak, remaja, pemuda, dewasa sampai dengan masa tua. Dari pemikiran demikian, teori-teori pendidikan Islam yang dapat dikembangkan dari hasil penelitian antara lain teori tentang pendidikan Islam pada masa pra-natal, teori pendidikan Islam bagi anak di rumah tangga, teori pendidikan Islam bagi para remaja di rumah tangga, dan sebagainya.
Teori-teori pendidikan Islam untuk masing-masing jenjang tersebut dapat dirinci lebih lanjut. Untuk teori-teori pendidikan anak di rumah tangga misalnya, dapat dibagi lagi menurut jenis rumah tangga yang sibuk, rumah tangga kelas bawah, rumah tangga kelas atas, dan seterusnya.
Demikian pula teori-teori pendidikan Islam untuk pendidikan di masyarakat juga banyak variasinya yang dapat diteliti. Misalnya penelitian tentang teori pendidikan di pesantren biasa, teori pendidikan untuk di pesantren kilat, di majlis ta’lim, khutbah, kursus-kursus dan sebagainya.[12]
Penelitian Ilmu Pendidikan Islam tersebut dapat pula diarahkan pada aspek-aspek yang terkandung dalam pendidikan tersebut. Misalnya penelitian terhadap problema yang dihadapi guru, penelitian tentang cara memperbaiki tingkah laku guru dalam mengajar, dan penelitian terhadap peranan kepala sekolah dalam memperlancar pembaharuan pendidikan.
Selanjutnya, untuk lebih jelasnya mengenai model penelitian pendidikan Islam ini akan dikemukakan beberapa contoh sebagai berikut.
A. Model Penelitian tentang Problema Guru
Dalam Usaha memecahkan problema guru, Humpunan Pendidikan Nasional (National Education Association) di Amerika Serikat pernah mengadakan penelitian tentang problema yang dihadapi guru secara nasional pada tahun 1968.
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian tersebut dilakukan dengan cara pengumpulan data yang dilakukan oleh bagian Himpunan Pendidikan Nasional Penelitian (National Education Association) melalui survey pendsapat umum guru (opinion survey for teacher) pada musim semi tahun 1968 dikalangan guru-guru sekolah negeri yang dijadikan sampel secara nasional.
Kuesioner tang dibuat terdiri dari17 macam pertanyaan tentang problema guru yang dipandang potensial. Responden diminta untuk menunjukkan bagi tiap-tiap guru suatu problema pokok mana yang bukan problema pokok atau sama sekali bukan problema di lingkungan sekolah masing-masing. Kemudian data yang terkumpul dari kuesioner itu dijadikan landasan analisis.[13]
Dengan demikian, penelitian tersebut dari segi metodenya termasuk penelitian survey, yaitu penelitian yang sepenuhnya didasarkan pada data yang dijumpai di lapangan, tanpa didahului oleh kerangka teori, asumsi atau hipotesis. Penelitian tersebut menggunakan data lapangan yang dikumpulkan melalui instrumen pengumpulan data, yaitu kuesioner yang sampelnya mewakili tingkat nasional, dan objek yang diteliti adalah problema yang dihadapi guru.
Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah dijumpainya 5 aspek pokok yang menyangkut kondisi dan kompensasi tugas mengajar guru yang dipandang sebagai problema major lebih kurang 25% dari responden, dan lebih kurang 40% responden yang menganggapnya sebagai problema minor. Ia mendapatkan sejumlah guru yang mempunyai problema dalam aspek-aspek tersebut antara 65%-75%.
Adapun 5 aspek pokok (top ranking aspek) tersebut berkenaan dengan: 1)Sedikitnya waktu untuk istirahat dan waktu untuk persiapan pada waktu dinas di sekolah; 2)ukuran kelas yang terlalu besar; 3)Kurangnya bantuan administratif; 4)Gaji yang kurang memadai; 5)Kurangnya bantuan kesejahteraan. Di antara problema-problema tersebut, maka nomor 1 mendapatkan presentasi terbesar sebagai problema major pada kedudukan 37,6% dari jawaban guru-guru, sedang yang menganggap sebagai problema minor mencapai 34,4%.
Adapun aspek yang berada pada ranking kedua adalah hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek yang lebih khusus tentang kegiatan sekolah antara lain; bantuan yang kurang memadai dari guru-guru khusus, tidak adanya bantuan dari masyarakat terhadap sekolah, pengelompokkan murid yang kurang efektif ke dalam kelas-kelas, rapat-rapat guru yang tidak efektif, bahan-bahan pengajaran yang tidak mencukupi, serta program testing dan bimbingan penyuluhan yang kurang efektif.[14]
B. Model Penelitian tentang Lembaga Pendidikan Islam
Salah satu penelitian yang berkenaan dengan lembaga Pendidikan Islam adalah penelitian yang dilakukan oleh Karel A. Steenbrink dalam bukunya berjudul Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern yang diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta, tahun 1986.
Metode penelitian yang dilakukannya adalah pengamatan (observasi). Sedangkan objek pengamatannya adalah sejumlah pesantren yang berada di Jawa dan Sumatera. Antara lain dia mengunjungi beberapa hari sampai satu minggu pesantren Pelamonan, Cibeber, Citangkil (Al-Khairiyah) dan Menes (Mathla’ul Anwar). Melalui Medan (kunjungan ke Jami’atul Washliyah) dan Tanjung Pura, ia kemudian mengadakan kunjungan ke Ciandung, dekat Bukit Tinggi, ke Pesantren Sumatera Thawalib, Parabek, Diniyah Puteri di Padang Panjang dan kesebuah pesantren kecil, pusat Naqsyabandiyah di Kota Tua, Bukit Tinggi. Kunjungan ke pesantren tersebut membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan. Salah satu hasil pengamatannya ke pesantren tersebut ternyata kehidupan pesantren tidak begitu mahal, sehingga dana yang dulu diberikan hanya untuk 6 bulan, akhirnya cukup untuk masa penelitian 12 bulan di Indonesia.[15]
Melalui analisi historis yang dipandu dengan pendekatan komparatif, Karel A. Steenbrink sampai pada kesimpulan, bahwa dibandingkan dengan Malaysia, maka jelaslah pesantren di Indonesia melalui beberapa pembaharuan tetap berusaha memberikan pendidikan islam yang juga memenuhi kebutuhan pendidikan sesuai zamannya, sedangkan sistem pesantren di Malaysia bersifat lebih defensive dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan zaman modern. Di antara sebab lain adalah perbedaan disbanding pendidikan ini juga menentukan corak khas, perjuangan Islam di Malaysia, kalau dibandingkan di Indonesia.[16]
Pada bagian lain hasil penelitiannya itu Steenbrink mengatakan bahwa sejak permulaan tahun 1970-an ternyata beberapa organisasi Islam mengalami de-politisasi, yaitu melepaskan diri dari politik praktis dan politik partai serta lebih mementingkan cita-cita asli sebagai organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan. Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa pesantren (yang sebenarnya melawan arus umum di Indonesia, yang justru bersifat seragam, yakni unifikasi menurut satu model, dengan pusatnya, Jakarta)[17]
Dari hasil penelitian tersebut, kita dapat menarik benang merah, bahwa sungguhpun penelitian tersebut bersifat deskriptif, namun si peneliti memiliki alat analisis yang ia bangun dari berbagai teori dibidang sajarah. Dengan demikian data-data yang ia dapati dari hasil penelitiannya itu terasa memiliki makna dan dapat menjelaskan berbagai keadaan yang sesungguhnya terjadi di dunia pesantren.
C. Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam
Penelitian yang mengambil objek kajian tentang kultur pendidikan Islam khususnya yang ada di pesantren, antara lain dilakukan oleh Mastuhu dan Zamakhsyari Dhofir. Untuk mengenal model penelitian yang dilakukan oleh kedua peneliti ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Model Penelitian Mastuhu
Penelitian tang bertemakan kultur pendidikan Islam yang berada di pesantren dilakukan Mastuhu pada saat menulis disertai untuk program doctor. Penelitian dimaksud berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren yang diterbitkan oleh Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies(INIS) pada tahun 1994.
Penelitian tersebut dituangkan dalam lima bab, yaitu bab tentang pendahuluan, tujuan pustaka, kerangka dan metode, hasil dan pembahasan serta bab kesimpulan dan saran.
Pada bab pendahuluan peneliti mengemukakan latar belakang pemikiran yang berpijak pada tema disekitar hubungan antara pendidikan nasional dan pembangunan nasional. Untuk itu ia mengajukan teori yang mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan nasional sangat tergantung pada partisipasi seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi akan muncul dan berkembang apabila rakyat mengerti dan merasakan mamfaat dalam kehidupan keseharian. Bagi umat beragama, dalam hal ini umat islam, syarat tersebut masih ditambah dengan satu syarat lagi, yaitu apabila tidak bertentangan dengan aqidah dan syari’at islamiyah.
Pada bagian lain dari pendahuluannya itu, Mastuhu mengatakan bahwa pembangunan nasional memerlukan tata pikir yang berwawasan luas, rasional dan hubungan antara manusia modern yang tidak tergantung pada otoritas perorangan, tetapi pada otoritas sistem yang telah disepakati bersama. Sedangkan di kalangan masyarakat luas, mayoritas adalah umat Islam, diperoleh kesan masih terdapat kecenderungan tata pikir yang berwawasan sempit , irasional dan pola hubungan tang tradisional, sehingga terjadi kesenjangan antara tata pikir lama yang berada dikalangan masyarakat luas dan tata pikir yang dituntut oleh masyarakat modern.[18]
Selanjutnya, peneliti mengatakan bahwa di sisi lain, agama Islam di Indonesia akan cacat fungsi dan perannya apabila tidak mampu memberikan penjelasan mengenai tantangan pembangunan dan dorongan serta pedoman bagi pemeluknya untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional dengan penuh tanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya pembaharuan pemikiran dalam islam secara terus menerus, dalam arti memahami dan mandalami ajaran islam sesuai dengan kontekstualnya atau realitas sosial yang menjadi tantangan zamannya. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam harus dapat menjadi salah satu pusat studi pembaharuan pemikiran dalam Islam dimaksud.[19]
Bertolak dari latar belakang pemikiran tersebut, peniliti sampai pada masalah dasar dan makro yang menjadi tanggung jawab sistem pendidikan nasional dan pesantren, yaitu bagaimana mengubah dan mengembangkan tata pikir dan perilaku bangsa sesuai dengan tantangan pembangunan nasional dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Bagaimana mereka harus mengembangkan dirinya agar mampu mengemban tanggung jawab tersebut.
Dari permasalahan dasar makro tersebut, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a) Apa unsure-unsur yang terdapat pada sisten pendidikan pesantren; mana diantaranyya yang perlu dikembangkan lebih lanjut; mana yang tidak perlu dipertahankan; dan mana yang perlu diubah dan disempurnakan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
b) Apa nilai-nilaii luhur yang terkandung dalam unsur-unsur tersebut; mana diantaranya yang perlu dikembangkan lebih lanjut; yang tidak perlu dipertahankan; yang yang perlu diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional?
c) Bagaimana perspektif dan dinamika sistem pendidikan pesantren dalam menghadapi tantangan zamannya, yaitu kebutuhan pembangunan nasional lengkap dengan kemajuan ilmu tekhnologi yang dibutuhkannya; Apa kemungkinan bentuk-bentuk pendidikan pesantren yyang akan terjadi di masa depan sehubungan dengan tantangan zaman tersebut?
Sejalan dengan pertanyaan penelitian tersebut, pada bagian pendahuluan ini, peneliti mengemukakan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tersebut, yaitu:
a) Mencari butir-butir istem pendidikan pesantren yang kiranya perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional. Untuk selanjutnya disebut butir-butir positif.
b) Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang kiranya sudah tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan perspektif pesantren di masa depan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan tantangan zamannya. Untuk selanjutnya disebut butir-butir negative.
c) Mencari butir-butir sistem pendidikan pesantren yang sekiranya perlu diperbaiki lebih dahulu sebelum dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional dan sistem pendidikan pesantren dalam menyongsong masa depannya. Untuk itu selanjutnya disebut butir-butir plus-minus.
d) Mengantisipasi berbagai kemungkinan bentu-bentuk pesantren yang akan terjadi sehubungan dengan tantangan zaman.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah pengertian tentang berbagai peristilahan yang digunakan dalam penelitiannya, peneliti pada bagian pendahuluan ini mencantumkan definisi operasional tentang sistem pendidikan, pesantren serta dinamika sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan diartikan sebagai totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur pendidikan yang bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama para pelakunya. Sedangkan pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fii addin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Selanjutnya mengenai dinamika sistem pendidikan pesantren diartikan sebagai gerak perjuangan pesantren di dalam memantapkan identitas dan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang membangun ini, sebagai subsistem pendidikan nasional.[20]
Dari segi metodenya, penelitian ini menggunakan pendekatan grounded research yang mendasarkan analisisnya pada data dan fakta yang ditemui di lapangan, jadi bukan melalui ide-ide yang ditetapkan sebelumnya. Metode ini dinilai dapat menolong peneliti untuk menjadi warga dari komunitas objek studi dengan tetap menjaga jarak sebagai peneliti dan jasa sosiologi yang menolong peneliti untuk menjadi orang asingdi kalangan komunitas sendiri.
Selanjutnya, peneliti mengemukakan objek penelitiannya, yaitu sebanyak enam pesantren: Pondok Pesantren (PP) An-Nuqoyah dari desa Guluk-guluk, Sumenep Madura, Pondok Pesantren Salafiyah Ibrahimiyah di desa Sukorejo; Pondok Pesantren Blok Agung di Banyuwangi, Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah Paciran, Lamongan dan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
Selanjutnya, pada bab penelitian tersebut dikemukakan mengenai tinjauan pustaka yang berisi uraian tentang manusia dan kehidupan, sistem pendidikan yang meliputi aliran-aliran pendidikan pesantren, kehadiran pesantren di tengah-tengah kehidupan masyarakat serta unsure-unsur sistem pendidikan pesantren.
Pada bab ketiga, peneliti itu mengemukakan tentang kerangka dan metode. Pada bagian ini dikemukakan tentang kerangka pemikiran yang berisi urutan pemikiran secara sistematik yang ada relevansinya dengan objek penelitian yang dituangkan dalam butir-butir pemikiran yang bersifat dasar dan pokok. Selanjutnya, dikemukakan pula pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu pendekatan sosiologis, antropologis, dan fenomenologis interaksi simbolis. Dengan pendekatan sosiologis-antropologis diharapkan dapat ditembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren. Pendekatan ini dipergunakan dengan asumsi bahwa nilai-nilai kehidupan pesantren. Pendekatan ini dipergunakan dengan asumsi bahwa nilai-nilai kehidupan pesantren itu tersembunyi di balik hubungan antarsesama manusia atau di balik fenomena-fenomena dan symbol-simbol yang dipergunakan dalam kehidupan mereka.
Pada bagian berikutnya dikemukakan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam grounded research, yaitu;
a) Manakah kelompok-kelompok atau individu-individu penting yang harus diperbandingkan? Langkah ini menghasilkan deskripsi.
b) Apa persamaan dan perbedaan dari kelompok-kelompok tersebut? Langkah ini menghasilkan kategori-kategori.
c) Apakah cirri-ciri penting dari setiap kategori? Langkah ini menghasilkan sifat-sifat.
d) Bagaimana kategori-kategori utama berhubungan satu dengan yang lain? Langkah ini menghasilkan hipotesis-hipotesis.
e) Bagaimana hipotesis-hipotesis itu berhubungan dengan yang lain? Langkah ini menghasilkan teori akhir yang diperoleh.
Pada bagian akhir Bab 3 ini dikemukakan tentang ruang lingkup penelitian yang meliputi tujuan, filsafat dan tata nilai, struktur organisasi, lingkungan kehidupan pesantren, kiai dan ustad, santri, pengurus, interaksi pelaku, kurikulum dan sumber belajar, proses kegiatan belajar mengajar dan evaluasi, pengelolaan dana, sarana, dan alat-alat pendidikan.
Setelah mengemukakan hasil dan pembahasan yang berkisar tentang arti pesantren, tujuan pesantren, masyarakat pesantren dan sebagainya, dan lainnya sebagaimana dikemukakan pada Bab 4, akhirnya peneliti sampai pada kesimpulan yang dituangkan pada Bab 5. Kesimpulan ini pada intinya merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan pada bab pendahuluan.
Selain dilengkapi daftar pustaka, penelitian ini juga dilengkapi dengan berbagai macam tabel yang ada relevansinya dengan tema penelitian.
Dengan mengikuti uraian tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa penelitian tersebut termasuk ke dalam penelitian grounded research yang amat baik. Hal ini selain karena adanya kejelasan latar belakang, tujuan, ruang lingkup dan batasan teoritis, juga karena didukung oleh metode dan pendekatan yang jelas pula, yang antara satu bagian dengan bagian lainnya menunjukkan bahwa peneliti memiliki wawasan, pengalaman, keterampilan dan kesungguhan dalam penelitian. Oleh karenanya, model penelitian tersebut dapat dijadikan model penelitian yang mungkin akan kita lakukan.
2. Model Penelitian Zamakhsyari Dhofier
Model penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier masih di sekitar pesantren.Penelitian yang dilakukannya berjudul Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, dan telah diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982.
Sebagaimana halnya model penelitian yang dilakukan Mastuhu di atas, penelitian ini tidak menyebutkan secara ekplisit tentang latar belakang pemikiran, pertanyaan penelitian, tujuan, ruang lingkup, metode, pendekatan, dan sebagainya sebagaimana lazimnya sebuah penelitian. Namun, jika dipelajari secara seksama, nampak berbagai unsur yang ada dalam penelitian akan kita jumpai.
Pada bagian pendahuluan misalnya dikemukakan, bahwa buku ini ditulis berdasarkan studi lapangan, terutama atas dua buah lembaga pesantren yang dilakukan antara bulan September 1977 dan September 1978. Kedua pesantren itu ialah Pesantren Tegalsari dan Pesantren Tebuireng. Pesantren Tegalsari didirikan menjelang tahun 1870 di kelurahan Sidoarjo, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pesantren Tebuireng didirikan tahun 1899 di Kelurahan Cukir, kira-kira 8 kilometer sebelah tenggara kota Jombang Jawa Timur.[21]
Uraian tersebut mengandung informasi tentang model penelitian yang dilakuakan yang dalam hal ini studi lapangan dapat mengambil bentuk grounded research atau survey dan pengamatan; dan juga berisi informasi tentang objek penelitian atau sampel yang digunakan, yaitu dua buah pesantren yang masing-masinag berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kedua sampel tersebut terlihat cukup mewakili, karena dilihat dari segi usianya kedua pesantren tersebut sudah amat tua dan diperkirakan telah menghasilkan para tokoh agama, ulama, kiai, dan ustad yang tidak sedikit jumlahnya. Mereka telah berkiprah di masyarakat dan sekaligus memainkan peranan di bidang sosial keagamaan bahkan politik yang diperkirakan tidak kecil.
Pada bagian lain, dikatakan juga bahwa pada umumnnya studi tentang Islam di Jawa selama ini menitikberatkan analisisnya pada segi pendekatan intelektual dan pendekatan teologi hingga seringkali memberi kesimpulan yang meleset. Sebagai contoh, selama ini sering disimpulkan bahwa para kyai, karena sangat terikat oleh ajaran-ajaran kaum Sufi dan mengamalkan tarekat, dianggap telah mengamalkan Islam yang salah, Islam yang hanya mementingkan hidup akhirat dengan melupakan kehidupan duniawi. Kesimpulan yang lebih ekstrim lagi dari kaum intelektualis ialah bahwa pengamal tarekat membenci kehidupan duniawi.
Sehubungan dengan itu, peneliti juga berusaha menunjukkan sumbangan pendekatan sosiologis dalam usaha kita memahami Islam di Jawa secara lebih tepat. Pendekatan sosiologis akan mengurangi kecenderungan menarik kesimpulan yang terlalu cepat seperti tersebut di atas.
Pernyataan tersebut dapat menunjukkan tentang adanya latar belakang pemikiran yang diajukan dalam penelitian tersebut, yaitu ingin melihat latar belakang tradisi di pesantren dengan pendekatan sosiologis yang selama ini diasumsikan dapat mengurangi terjadinya penarikan kesimpulan yang meleset yang disebabkan penggunaan pendekatan teologis.
Masih pada bagian pendahuluan, peneliti mengemukakan bahwa penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Tetapi analisis yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk menghasilkan proposisi-proposisi teoritis tertentu tentang tradisi pesantren dan paham Islam tradisional di Jawa. Analisis tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa data etnografis yang lebih banyak lagi dan analisis yang lebih imajinatif masih sangat diperlukan untuk dapat lebih memahami masyarakat dan kebudayaan manusia.[22]
Pernyataan tersebut mengisyaratkan tentang metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu metode deskriptif dan analisis yang terbatas. Dengan metode ini dapat dihasilakan deskripsi atau uraian secara utuh dan menyeluruh tentang objek penelitian yang ditetapkan dengan didukung oleh data-data dari lapangan, sedangkan dengan analisis dapat dilakukan upaya identifikasi, kategoris untuk selanjutnya dihasilkan kesimpulan yang dapat mengambil bentuk teori atau hipotesis. Namun kelihatannya penelitian ini, dalam analisisnya, tidak dimaksudkan untuk membangun sebuah teori, tetapi hanya sekedar untuk menjelaskan inti gagasan atau kondisi batinyang dapat dipahami dari fenomena-fenomena empiric yang dapat diamati.
Melalui penelitian ini dapat dihasilkan deskripsi tentang tradisi pesantren yang dituangkan dalam bab-bab yang ada dalam penelitian tersebut. Bab I misalnya, membahas sifat-sifat umum dari sistem dan struktur pendidikan Islam tradisional di Jawa, yaitu pengajian di rumah-rumah kiai, di langgar, mesjid dan di pesantren-pesantren yang dilengkapi denagn sejarah pesantren yang bersangkutan. Selanjutnya Bab II menbahas elemen-elemen pesantren yang paling pokok yaitu pondok, mesjid, kitab-kitab Islam klasik, para santri, dan kiai. Kemudian Bab III membahas tentang luasnya jaringan-jaringan aliansi perkawinan yang endogamus dan tradisi transmisi intelektual dari pengetahuan Islam antara sesame angggota kiai. Bab IV membahas dan meneliti Pesantren Tebuireng di Jombang sebagai suatu studi kasus tentang sebuah pesantren besar abad ke-20. Bab ini menyajikan suatu gambaran kehidupan sehari-hari dari murid-murid pesantren, bagaimana mereka mendidik, pelajaran-pelajaran apa yang diberikan, dan jenis-jenis ritual keagamaan yang mereka lakukan setiap hari dan menguraikan Pesantren Tegalsari yang menyajikan kasus yang kontras dengan Tebuireng. Kasus Pesantren Tegalsari ini juga memberikan contoh bagaimana pesantren kecil yang terletak jauh dari kehidupan kota memainkan peranan sebagai agen penyebaran Islam di pelosok pedesaan. Bab V mengemukakan tentang bentuk tarikat yang diamalkan oleh kiai sebagai sarana untuk mengembangkan ajaran-ajaran Islam dan memberikan kepemimpinan keagamaan bagi orang tua. Selanjutnya Bab VI membahas tentang paham ahlu sunah waljama’ah; dan Bab VII merupakan kesimpulan dari studi tentang pesantren ini, yang membahas secara singkat kedudukan kiai dalam situasi sekarang dengan tujuan untuk menarik perhatian pembaca terhadap kenyataan bahwa karier lembaga-lembaga pesantren di Jawa sedang dalam proses perubahan dan transformasi, sebagai bagian dari kehidupan Indonesia modern.[23]
Berdasarkan uraian di atas, maka model penelitian yang dilakukan Zamakhsyari Dhofier tergolong penelitian lapangan dengan menggunakan metode survey, pengamatan, wawancara, dan studi dokumentasi. Pembahasannya bersifat deskriptif, sedangkan analisisnya menggunakan pendekatan sosiologis. Penelitian ini tampak hampir semodel dengam penelitian Mastuhu. Kedua peneliti tersebut tergolong kaum pembaharu. Mereka berdua kelihatannya ingin mengetahui seberapa jauh tradisi dan nilai-nilai yang diberlakukan di pesantren masih ada yang cocok untuk masyarakat modern saat ini, dan sejauh mana tradisi dan nilai-nilai yang tidak cocok lagi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Ø Model penelitian pendidikan Islam adalah bentuk-bentuk usaha yang sistematis untuk menemukan jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah pendidikan Islam yang berkisar pada peserta didik, pendidik, lingkungan, dan komponen-komponen lainnya.
Ø Ada lima periode yang bisa kita jadikan bahan penelitian pendidikan Islam dari segi sejarah, yaitu: Periode pembinaan Islam, periode pertumbuhan pendidikan Islam, Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam, periode kemunduran pendidikan Islam, periode pembaharuan pendidikan Islam.
Ø Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem adalah suatu kegiatan yang di dalamnya mengandung aspek tujuan, kurikulum, guru, metode, pendekatan, sarana prasarana, lingkungan, administrasi, dan sebagainya yang antara satu dan lainnya saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang terpadu.
Ø Penelitian Ilmu Pendidikan Islam mencakup tiga aspek, yaitu: pengetahuan filsafat pendidikan Islam, pengetahuan mistik pendidikan Islam, dan ilmu pendidikan Islam.
Ø Dari ketiga model penelitian yang diuraikan dalam bab pembahasan, ada empat metode penelitian yang kita dapatkan, yaitu: metode survei, pengamatan (observasi), wawancara, dan studi dokumentasi.
3.2 Saran
Adapun beberapa saran yang dapat kami sampaikan yaitu:
Ø Agar para peembaca bisa mempelajari makalah yang kami buat, dan sekiranya memahami tentang model-model penelitian pendidikan Islam, sehingga merangsang untuk melakukan penelitian tentang pendidikan Islam.
Ø Semoga para pembaca dapat mengkaji dengan baik dan bisa melengkapi kekurangan makalah yang kami susun.
DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Nata Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Basri Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
http://www.acehforum.or.id/showthread.php/9952-Pengertian-Penelitian?p=178930
http://id.wikipedia.org/wiki/Model
http://profilaminkutbi.blogspot.com/2010/01/makalah-metode-penelitian-pendidikan_19.html
[1] Ahmad Tafsir, Loc. Cit, h. 25
[2] Drs. Hasan Basri, M.Ag., Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h. 53.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Jakarta, 2010, h.338
[4] Lihat Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1944), cet. I, hlm. 1.
[5] Lihat M. Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Van Houve, 1954), hlm. 53-61.
[6] Zuhairini, dkk., op. cit., hlm. 13.
[7] Di Indonesia kita mengenal adanya Madrasah Diniyah yang seratus persen mengajarkan pengetahuan agama, madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang mengajarkan tiga puluh persen pengetahuan agama dan sisanya pengetahuan umum. Madrasah-madrasah tersebut ada yang dikelola oleh swasta dan negri. Yang dikelola oleh swasta ada yang khusus seperti madrasah pertanian, madrasah pembangunan.
[8] Untuk mengenal berbagai lembaga pendidikan Islam ini, dapat dibaca lebih lanjut misalnya Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), cet I, hlm: 14-20; Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, op. cit., hlm. 136-187.
[9] Lihat misalnya Ahmad Tafsir, ilmu pendidikan dalam prespektif Islam, (Bandung: Rosdakarya, 1994), cet II, hlm. 47-151.
[10] Ahmad Tafsir, Peta Penelitian Pendidikan Islam, dalam Ahmad Tafsir (ed.), Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995),95.
[11] Selanjutnya Mohd. Athiyah Al-Abrasyi melalui bukunya berjudul al-Tarbiyah al-Islamiyah (Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam); Ahmad Fuad Al-Ahwani melalui bukunya berjudul al-Tarbiyah fi al-Islamiyah; Ali Khalil Abu Al-‘Ainain, melalui bukunya berjudul Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah; secara keseluruhan merupakan kajian mengenai pemikiran atau filsafat pendidikan Islam.
[12] Lihat Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 97-99.
[13] HM Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara,1993), cet.II, hal.152-153.
[14] Ibid, hal.153-154
[15] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,(Jakarta:LP3ES,1986)cet.I, hal.xiii.
[16] Ibid,hal xv
[17] Ibid,halxv
[18] Mastuhu, Tantangan yang Dihadapi IAIN Jakarta dalam periode Pembangunan masyarakat Modern,(Jakarta: LembagaPenelitian IAIN Jakarta,1987)hal.28
[19] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.(Jakarta: INIS,1994)HAL.4
[20] Ibid, hlm. 6-7.
[21] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), cet. I, hlm.2.
[22] Ibid, hlm. 14.
[23] Ibid, hlm. 14-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar